Sumpah Pemuda Zaman Digital

5 hours ago 3
informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online informasi terbaru berita terbaru kabar terbaru liputan terbaru kutipan terbaru informasi terkini berita terkini kabar terkini liputan terkini kutipan terkini informasi terpercaya berita terpercaya kabar terpercaya liputan terpercaya kutipan terpercaya informasi hari ini berita hari ini kabar hari ini liputan hari ini kutipan hari ini informasi viral online berita viral online kabar viral online liputan viral online kutipan viral online informasi akurat online berita akurat online kabar akurat online liputan akurat online kutipan akurat online informasi penting online berita penting online kabar penting online liputan penting online kutipan penting online informasi online terbaru berita online terbaru kabar online terbaru liputan online terbaru kutipan online terbaru informasi online terkini berita online terkini kabar online terkini liputan online terkini kutipan online terkini informasi online terpercaya berita online terpercaya kabar online terpercaya liputan online terpercaya kutipan online terpercaya informasi online berita online kabar online liputan online kutipan online informasi akurat berita akurat kabar akurat liputan akurat kutipan akurat informasi penting berita penting kabar penting liputan penting kutipan penting informasi viral berita viral kabar viral liputan viral kutipan viral slot slot gacor slot maxwin slot online slot game slot gacor online slot maxwin online slot game online slot game gacor online slot game maxwin online demo slot demo slot online demo slot game demo slot gacor demo slot maxwin demo slot game online demo slot gacor online demo slot maxwin online demo slot game gacor online demo slot game maxwin online rtp slot rtp slot online rtp slot game rtp slot gacor rtp slot maxwin rtp slot game online rtp slot gacor online rtp slot maxwin online rtp slot game gacor online rtp slot game maxwin online
Sumpah Pemuda Zaman Digital (Dok. Lab45)

KETIKA para pemuda Indonesia mengikrarkan Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928, mereka sesungguhnya sedang melahirkan suatu imajinasi politik baru, sebuah kesadaran kolektif untuk melampaui batas etnis, agama, dan daerah menuju cita-cita bersama bernama 'Indonesia'.

Ikrar itu bukan hanya peristiwa kultural, melainkan juga tindakan politik yang menandai lahirnya subjek baru dalam sejarah: orang muda yang menolak tunduk pada tatanan kolonial dan menuntut hak menentukan masa depannya sendiri. Hampir satu abad kemudian, semangat serupa bangkit kembali di berbagai belahan dunia dalam bentuk dan bahasa yang berbeda.

Sepanjang 2025, dunia menyaksikan gelombang gerakan pemuda yang merebak dari Nepal, Madagaskar, Maroko, Kenya, Peru, Timor Leste, hingga Indonesia. Meskipun berakar pada konteks nasional yang berbeda, semuanya menunjukkan pola serupa: generasi muda yang frustrasi terhadap ketimpangan ekonomi, kemerosotan demokrasi, serta maraknya korupsi dan patronase politik. Mereka menolak menjadi penonton di tengah oligarki global yang kian mengukuhkan diri, dan sebaliknya memanfaatkan ruang digital untuk mengorganisasi diri, memproduksi makna, dan menegosiasikan kembali makna keadilan.

KEBANGKITAN POLITIK GENERASI Z

Daniel Ziblatt dan Steven Levitsky dalam How Democracies Die menjelaskan bahwa demokrasi modern sering kali tidak mati karena kudeta militer, tetapi karena proses erosi yang dilakukan secara legal dan bertahap oleh elite penguasa. Ketika lembaga-lembaga negara disusupi kepentingan oligarki dan suara warga dibatasi oleh prosedur elektoral yang manipulatif, ruang partisipasi publik menyempit.

Dalam situasi semacam inilah, generasi muda muncul sebagai kekuatan tandingan yang mencoba membuka kembali ruang demokrasi dari bawah.

Di Nepal, ribuan pemuda turun ke jalan menentang kebijakan pemerintah yang melarang puluhan platform media sosial dan menuntut transparansi atas korupsi yang sistemis. Aksi itu, yang dikenal sebagai Gen Z Revolution, mengguncang politik Nepal dan memperlihatkan bagaimana digitalisasi menjadi instrumen perlawanan baru.

Di Madagaskar, gerakan pemuda yang berawal dari protes terhadap pemadaman listrik dan air berkembang menjadi tuntutan perombakan struktur pemerintahan, bahkan memaksa presiden membubarkan kabinetnya.

Sementara itu, di Maroko, kelompok pemuda yang menamakan diri Gen Z 212 menggelar protes besar-besaran menentang ketimpangan sosial dan prioritas anggaran pemerintah yang lebih berpihak pada proyek elitis ketimbang kebutuhan dasar rakyat.

Fenomena itu tidak berhenti di Afrika atau Asia Selatan. Di Kenya dan Peru, generasi muda memimpin demonstrasi yang menyoroti korupsi, inflasi, dan kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja. Di Timor Leste, mahasiswa dan pemuda berhasil menggagalkan rencana pengadaan mobil mewah bagi anggota parlemen, sebuah kemenangan simbolis terhadap politik kemewahan di tengah kemiskinan rakyat.

Bahkan, di Indonesia, muncul aksi-aksi sporadis dengan slogan seperti Dark Indonesia yang menuntut transparansi anggaran, perbaikan pendidikan, dan pemerataan ekonomi.

Gerakan-gerakan itu, meski berbeda skala dan konteks, memperlihatkan benang merah yang kuat: kekecewaan terhadap sistem politik yang dikuasai segelintir elite dan ketidakpercayaan terhadap institusi demokrasi yang kian kehilangan legitimasi.

DEMOKRASI YANG DIMATIKAN OLIGARKI

Vedi R Hadiz dalam analisisnya tentang politik Indonesia pasca-Orde Baru menggambarkan demokrasi elektoral yang dibajak oleh jaringan oligarki yang mana elite lama bertransformasi dan beradaptasi dengan demokrasi sambil tetap menguasai sumber daya ekonomi dan politik. Bahkan, ia menyimpulkan bahwa reformasi telah berakhir.

Fenomena serupa kini terjadi secara global. Daron Acemoglu dan James Robinson dalam Why Nations Fail menyebutnya sebagai dominasi extractive institutions, yakni sistem politik-ekonomi yang beroperasi untuk mempertahankan kepentingan segelintir elite melalui eksploitasi terhadap mayoritas.

Gerakan orang muda pada 2025 merupakan reaksi terhadap realitas ini. Mereka tidak lagi percaya pada politik formal yang dianggap tersandera dan memilih menyalurkan energi politiknya melalui mekanisme nontradisional, ruang digital, budaya populer, dan aksi solidaritas transnasional. Dalam konteks itu, politik tidak lagi dipahami semata sebagai perebutan kekuasaan, tetapi sebagai perjuangan untuk merebut kembali agensi dan makna kemanusiaan di tengah struktur global yang tidak adil.

Mobilisasi yang dilakukan melalui platform seperti Tiktok, Discord, dan menunjukkan bahwa generasi muda tidak hanya memanfaatkan teknologi, tetapi juga menata ulang relasi kekuasaan melalui teknologi itu sendiri. Mereka menciptakan ruang deliberatif baru di luar institusi negara, menjadikan algoritma sebagai arena politik, dan mengubah hashtag menjadi wacana perlawanan.

SIMBOLISME BUDAYA POP DAN POLITIK IMAJINASI

Salah satu ciri paling menarik dari gelombang gerakan muda 2025 adalah penggunaan simbol-simbol budaya pop sebagai bahasa politik. Di beberapa demonstrasi di Nepal dan Madagaskar, misalnya, terlihat bendera bertengkorak dengan topi Jerami, simbol dari anime One Piece. Tokoh utamanya, Monkey D Luffy, menjadi ikon perlawanan terhadap tatanan dunia yang korup, penuh ketidakadilan, dan dikuasai oleh elite yang serakah.

Simbol ini bukan sekadar ornamen visual. Ia merepresentasikan imajinasi moral baru yang bersifat lintas batas: solidaritas tanpa nasionalisme, perjuangan tanpa kekerasan, dan keberanian untuk menantang kekuasaan dengan semangat persahabatan. Dalam konteks geopolitik kontemporer, penggunaan One Piece menggambarkan keinginan generasi muda untuk melampaui logika politik negara-bangsa dan membangun solidaritas global melawan ketidakadilan struktural.

Di sini, kita melihat bahwa politik generasi muda bukanlah antirasional atau apolitis, melainkan bentuk post-ideological politics yang lebih cair, kreatif, dan reflektif terhadap perubahan zaman. Mereka tidak sekadar menuntut perubahan kebijakan, tetapi juga menuntut perubahan cara berpikir tentang kekuasaan, keadilan, dan masa depan.

RELEVANSI SUMPAH PEMUDA DI ERA DIGITAL

Dalam sejarah, Sumpah Pemuda 1928 dapat dibaca sebagai upaya membangun imajinasi kolektif di bawah kondisi keterpecahan dan penindasan. Kini, generasi muda di berbagai negara melakukan hal serupa: menciptakan kesadaran lintas batas terhadap ketidakadilan global. Bedanya, jika Sumpah Pemuda mengikat diri pada cita-cita kebangsaan, gerakan 2025 berakar pada cita-cita kosmopolitan, membangun solidaritas global di tengah dunia yang terfragmentasi oleh ekonomi politik neoliberal.

Keduanya sama-sama mengandung semangat counter-hegemonic: perlawanan terhadap struktur dominan yang menindas manusia atas nama kemajuan. Jika dulu kolonialisme hadir dalam bentuk penjajahan fisik, kini ia menjelma dalam bentuk kolonialisme digital, finansial, dan kultural. Gerakan muda hari ini adalah respons terhadap bentuk penjajahan baru itu, sebuah upaya untuk menegaskan kembali hak atas masa depan, hak untuk berpartisipasi, dan hak untuk bermimpi.

MEMBACA ULANG SEMANGAT SUMPAH PEMUDA

Sumpah Pemuda bukan sekadar dokumen sejarah; ia adalah projek politik yang belum selesai. Dalam konteks geopolitik global yang penuh krisis, orang muda kembali menjadi agen perubahan. Mereka tidak lagi menunggu ruang diberikan, mereka menciptakan ruang itu sendiri. Mereka berbicara dengan bahasa meme, anime, dan hashtags, tapi substansinya sama seperti hampir seabad lalu: melawan ketidakadilan, menolak pembungkaman, dan menuntut dunia yang lebih manusiawi.

Di tengah kecenderungan oligarki dan demokrasi yang kian rapuh serta semangat reformasi yang makin lenyap, gerakan orang muda di berbagai belahan dunia mengingatkan kita bahwa demokrasi hanya bisa hidup sejauh imajinasi moral masyarakatnya masih hidup.

Seperti para pemuda 1928 yang berani memimpikan Indonesia merdeka ketika kemerdekaan belum tampak mungkin, generasi muda hari ini pun sedang menulis ulang peta dunia, bukan dengan senjata, tetapi dengan solidaritas, kreativitas, dan imajinasi yang menolak tunduk.

Mungkin, seperti Luffy dan kawan-kawan dalam One Piece, mereka sedang berlayar menuju cita-cita yang sama: dunia di mana kekuasaan tidak lagi menjadi alat penindasan, tapi ruang kebebasan untuk semua. Mungkin, di sanalah, semangat Sumpah Pemuda menemukan maknanya kembali: sebagai janji abadi bahwa masa depan selalu dimulai dari keberanian orang muda untuk bermimpi be...

Read Entire Article